Bagi sekolah biasa atau yang berada di tengah-tengah jumlah penduduk padat atau di lingkungan sekitar hanya satu-satunya sekolah negeri yang berdiri, sistem zonasi membawa berkah. Sekolah, yang sering dilewati begitu saja oleh anak yang jarak tempat tinggalnya bersebelahan dengan sekolah, karena mereka lebih memilih sekolah favorit, kini banyak mendapatkan limpahan siswa. Sementara, sekolah-sekolah favorit "terpaksa" menerima sebagian siswa dengan kemampuan lebih rendah, karena jarak antara rumah dengan sekolah lebih dekat.
Bila model, metode, dan pendekatan pembelajaran masih
tetap sama, maka di sekolah yang dulunya dikenal favorit, siswa berkemampuan
akademik sedang dan kurang, bisa frustrasi mengejar materi pelajaran. Bagi
sekolah-sekolah favorit, sistem zonasi membuat mereka takut, tak bisa menjaga
tradisi sekolah, sebagai langganan juara. Bagi sekolah biasa-biasa saja, hal
ini bisa jadi tantangan apakah mereka bisa menjawab amanah membimbing murid
dengan kemampuan lebih.
Biasanya, di sekolah pinggiran dan pedesaan para guru
terbiasa mengajar dengan sangat "lambat", mengulang-ngulang dalam
rangka menyesuaikan materi dengan kemampuan peserta didik. Para guru di sekolah
menengah seringkali harus mengajarkan hitungan sederhana, atau meminta anak
meningkatkan kemampuan dasar dalam hal membaca dan menulis yang seharusnya
sudah dikuasi oleh siswa di level sebelumnya. Bila semua sekolah
mempunyai input siswa yang sama lebih, sedang, dan kurang kemudian
dalam berbagai lomba akademik antarsekolah terus didominasi sekolah-sekolah
yang menjadi langganan juara, hal tersebut bisa menjadi cermin, bukan input yang
kurang bagus, namun proses dan pendukung pembelajaran yang bersumber dari guru,
sarana, dan prasarana kurang berkualitas.
Siswa berkemampuan lebih, berkemampuan sedang dan
rendah, berkumpul dalam satu kelas, kelas menjadi lebih heterogen. Kelas yang
beragam membutuhkan pendekatan pembelajaran yang berbeda dibanding mengajar
siswa dengan kemampuan homogen. Kelas yang homogen adalah kelas yang dihuni
peserta didik dengan kemampuan sama atau tidak jauh berbeda. Siswa dengan
kemampuan lebih biasanya sudah sadar, untuk apa mereka datang ke sekolah rata-rata
berbekal nilai akademik bagus. Sementara, siswa berkemampuan rendah kebanyakan
memiliki semangat belajar yang kurang, di dalam kelas terlihat seperti sedang
menghabiskan waktu saja, bergembira ketika bel tanda pelajaran usai berbunyi.
Jangan sampai pengaruh negatif yang ada pada masing-masing siswa berkembang di
ruang-ruang kelas. Guru berperan penting dalam upaya menumbuhkembangkan nilai
dan karakter baik, yang ada atau belum muncul pada diri siswa, serta
menghilangkan kebiasaan-kebiasaan kurang baik.
Kelas heterogen memiliki keunggulan di mana guru bisa
mendapatkan "asisten" dari siswa yang mempunyai kemampuan lebih.
Proses pembelajaran tidak berpusat semata-semata hanya pada guru semata.
Kelemahannya, sebagian murid seperti halnya guru merasa lebih nyaman bekerja
sama dengan murid yang mempunyai kemampuan sama, apalagi di atas rata-rata. Sementara
murid yang "dipaksa" untuk menjadi "asisten guru" atau
berperan membantu murid dengan kemampuan di bawah mereka, merasa harus
memperlambat proses belajar, di mana seharusnya mereka sudah melangkah untuk
mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru. Siswa berkemampuan kurang bisa
dianggap sumber persoalan yang memperlambat proses belajar mengajar, timbul
stigma yang menyebabkan percaya diri hilang dari siswa berkemampuan rendah. Para
guru harus lebih mengenal kemampuan dan potensi peserta didiknya. Tentu ini tak
mudah dalam praktiknya, terutama guru bidang studi di banyak sekolah, yang
harus mengajar di beberapa kelas dengan jumlah murid yang dihadapi ratusan.
Sibuknya guru dalam mengajar, dari ruang kelas satu ke kelas yang lain,
seakan-akan menunjukkan seperti tak ada waktu untuk melakukan refleksi serta
melaksanakan penelitian-penelitian kecil untuk mengembangkan proses
pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang dilakukan ketika berhadapan
dengan siswa yang banyak, antara lain; Pertama, dengan meminta salah satu murid
menyebutkan namanya --secara psikologis murid merasa dia dikenal oleh guru.
Tidak sekadar memanggil anak yang pintar atau kemampuannya paling rendah. Kedua,
menekankan kembali kepada para siswa bahwa proses belajar bukan lagi sebagai
arena persaingan, tapi sebuah tempat untuk belajar saling bekerja sama, saling
mendorong dan membantu. Bahwa hidup penuh dengan perbedaan-perbedaan. Bagi
siswa yang sudah menguasai pelajaran diberi tantangan pengetahuan dan
keterampilan lebih lanjut tanpa meninggalkan siswa dengan kemampuan rendah.
Konsep pembelajaran yang menekankan kerja sama di
antaranya diterapkan di Finlandia. Finlandia mempunyai rekam jejak bagus dalam
bidang pendidikan di dunia internasional, menekankan bahwa pendidikan bukan
sekadar arena kompetisi berlomba-lomba menjadi yang terbaik. Hal ini
membutuhkan adaptasi, terutama dalam penerapan metode, model, dan pendekatan
pembelajaran. Guru tak bisa lagi mengajar seiring sejalan dalam kelas. Proses
belajar mengajar dibagi beberapa kelompok, masing-masing kelompok diisi oleh
siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Guru menjadi fasilitator yang
baik agar tidak muncul dominasi kelompok oleh beberapa siswa. Siswa yang
mempunyai kemampuan lebih ditantang untuk bisa mengkomunikasikan kemampuan
mereka pada siswa-siswa yang masih belum begitu paham. Sejalan dengan tujuan
pembelajaran Kurikulum 2013, di mana siswa dapat mengkomunikasikan pengetahuan
atau keterampilan yang mereka kuasai. Pada dasarnya tak ada praktik mengajar
paling tepat yang bisa disesuaikan di semua sekolah, karena ada sejumlah faktor
yang mempengaruhi, seperti daya dukung lingkungan keluarga dan
masyarakat, input siswa, sarana dan prasarana, serta kondisi
lingkungan sekolah. Tapi yang utama harus dilakukan oleh para guru, terus
belajar meningkatkan kemampuan mengenal potensi siswa, menghargai perbedaan
kemampuan, meningkatkan kerja sama antarsiswa, membuat, mencontoh, dan
mengevaluasi inovasi pembelajaran yang dilakukan. Ketiga, pengalaman guru di
kelas dikomunikasikan kepada rekan sejawat di ruang-ruang guru untuk membuka
lontaran kritik dan pendapat rekan guru yang lain. Tanpa saling terbuka atas
praktik di ruang kelas, proses pembelajaran hanya akan menjadi ruang-ruang
tertutup, miskin pertanggungjawaban, menutup perbaikan, dan lebih dari itu
proses berbagi praktik yang baik tak akan pernah terjadi; seolah-olah sudah di
jalan yang benar, padahal bisa jadi sebaliknya. Kelas
yang heterogen bisa menjadi berkah bagi para guru dalam memberikan layanan pendidikan, meningkatkan kerja sama antar murid untuk saling mengisi dan maju
bersama dalam upaya meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan. Proses
adaptasi harus segera dan terus dilakukan.